Kasus:
“Bang Jul, saya dimanjain habis sama bokap n nyokap (Papi n mami). Sampai SMP semua kebutuhan saya disiapkan. Makanan, minuman selalu nyokap yang siapin. Supir dan pembantu rasanya dua puluh empat jam siap meladeni saya. Saya nangis sedikit saja, maka keinginan saya langsung dipenuhi nyokap. Uang saku saya Bang Jul jangan tanya, berlebihan. Saya suka traktir teman di sekolah, dan saya dianggap pahlawan. Saya kemudian gaul dengan teman yang salah. Jangan heran, saat saya merasa susah di SMP, teman mengenalkan saya ganja dan langsung nyangkut. Setelah ganja saya mengenal Putaw. Itulah sebabnya saya dirawat disini” ***)
Beberapa tahun yang lalu saat sedang studi S2 bidang konseling, saya sempat praktik kerja di sebuah klinik gangguan jiwa dan adiksi, di Jakarta selama satu tahun. Ada sekitar seratus klien dirawat disana, dan mayoritas klien penderita depresi akut dan skizofrenia. Selain itu ada sekitar 20an pecandu narkoba yang dirawat terpisah. Pecandu ini berusia 17 hingga 30 Tahun
Beberapa di antara mereka ada yang dirawat empat hingga enam tahun. Orangtua mereka hanya menitipkan dan membayar biaya. Merasa tidak sanggup menangani si anak dan menyerahkan perawatan sepenuhnya ke klinik tersebut. Sebagian besar lainnya dirawat sekitar 2 bulan hingga setahun. Setelah pulih dikembalikan kepada orangtua.
Fenomena anak yang dimanjakan
Dari obrolan dengan salah satu staf senior di sana, ada sesuatu yang menarik. Dari hasil konseling para staf dengan si klien dan keluarganya ditemukan sebagian mereka adalah anak yang manja. Tepatnya anak yang dimanjakan. Mereka lahir dan tumbuh di keluarga yang berada, semua kebutuhan mereka terpenuhi.
Beberapa orangtua mengakui bahwa mereka terlalu memanjakan si anak sejak kecil. Kesibukan kerja membuat mereka lebih mengikuti kemauan anak. Pemanjaan sebagai jalan mengatasi rasa bersalah. Di rumah ada pembantu dan supir yang melayani mereka. Bahkan sampai anak SMP, untuk membuat minuman pun selalu sang Ibu menyediakan. Mengangkat tas ke mobil, dan sebagainya ada supir atau pembantu. Akibanya anak tidak mandiri.
Saat TK dan SD relatif mereka jarang menangis. Sebab apa saja keinginan mereka relatif dipenuhi. (lihat cerita di atas). Di sekolah dasar umumnya tuntutan tidak banyak dan guru umumnya bersahabat.
Bahkan guru di kelas tidak hanya satu, tapi ada beberapa yang memaklumi mereka sebagai anak. Namun saat masuk ke SMP, suasana nyaman di rumah dan di Sekolah Dasar mulai hilang. Saat memasuki usia remajalah anak yang biasa manja mudah terguncang. Mulai mengalami penolakan teman, diejek teman, dimarah guru di depan banyak teman saat tidak buat PR, dsb.
Ketika merasa ada tekanan, mudah stres. Lalu mencari teman curhat. Masalahnya adalah jika mendapat teman curhat yang salah. Di sinilah awal pergaulan yang salah dimulai, dan perkenalan dengan narkoba seperti kasus X di atas terjadi. Akibat pemanjaan lainnya adalah Sebagian anak tumbuh dengan daya juang yang rendah, dan daya tahan stresnya kurang. Akibatnya anak mudah tertekan saat keinginannya tidak tercapai. Kecewa dan stres saat nilainya rendah dsb. Apalagi ketika melihat orangtuanya mulai keras dan tidak seperti dulu.
Menunda keinginan anak
Dalam mengasuh anak, tidak semua keinginan anak haru dipenuhi. Sebagian perlu ditunda dan sebagian ditolak. Anak saat kecil belum bisa memahami apa itu keinginan dan kebutuhan. Pengaruh iklan dan teman, sering membuat anak meminta barang atau makanan yang dia rasa enak. Disini orang tua perlu menjelaskan, agar anak mengerti mana yang dia butuhkan, dan mana yang hanya dia ingin miliki.Sejak kecil, kami membimbing anak untuk tidak menonton iklan. Setiap iklan mereka tukar channel TV ke siaran yang tidak ada iklan. Menjelang SMP mereka sudah lebih terbiasa dengan channel TV yang sedikit bahkan tanpa iklan (TV Kabel).
Kalau anak-anak bercerita tentang teman yang punya mainan ini dan itu, kami berusaha mendiskusikan beberapa hal: seberapa penting alat mainan itu. Latar belakang orangtuanya, dan kondisi kami sendiri. Membicarakan asas kemanfaatan mainan itu dsb. Kami juga mengajarkan apa itu keinginan dan apa itu kebutuhan. Beberapa yang kami anggap anak memang butuh, kami tidak selalu langsung membelikannya. Kami mengajar anak untuk mendoakan, dan menunggu kami bisa membelikannya. Kami mengajar anak bahwa kalau barang mahal, kamipun perlu menabung dulu.
Ada kalanya anak kami menangis, bersungut sampai marah. Tapi kami biarkan. Toh nangis tidak membuat dia sakit. Setelah kami merasa waktunya membelikan, maka kami mengajak mereka membeli. Biasanya kami berikan mereka uang untuk membayarkan kepada kasir. Supaya mereka tahu berapa besar uang yang kami keluarkan untuk mainan atau barang itu. Inilah cara kami menunda keinginan anak.
(Sumber)